SANG JUARA DAN KOMPETISI: SEBUAH REFLEKSI
Kamis, 09 Desember 2010
Badar, sebuah lokasi yang terletak tidak jauh dari Madinah, dan menjadi sejarah karena pertempuran terbesar yang pernah diikuti Rasulullah terjadi di sana. Konon setelah pertempuran yang paling bersejarah itu, Rasulullah berkata, kira-kira begini: “kita telah kembali dari sebuah pertempuran kecil dan kita akan menghadapi pertempuran yang lebih besar lagi yaitu pertempuran mengalahklan hawa nafsu”.
Tidak begitu penting, apakah hadits tersebut valid atau tidak, Maudhu’ atau tidak, karena ada kearifan lain yang ditawarkan kisah ini kepada kita: Peperangan selamanya tidak akan pernah berakhir, menang atau kalah. Kompetisi selamanya adalah takdir kita, dalam segala lini kehidupan. Buktinya, sebelum kita resmi menjadi embrio, kemudian janin, cikal bakal kita yang masih berupa sel sperma, berkompetisi dengan ribuan sel sperma lain untuk menembus sel telur. Hanya satu yang berhasil, lalu, terjadilah pembuahan, terciptalah sebuah kehidupan.
MTQ ke-34 tingkat Kabupaten Agam telah usai. Sebagai sebuah kompetisi, MTQ yang diikuti dan dijawarai oleh kafilah Kecamatan Canduang tahun ini, sebenarnya baru akan dimulai, merujuk kepada kata Rasulullah di atas. Sebagaimana peperangan badar, ada kompetisi yang lebih besar menunggu, yaitu kesanggupan untuk mempertahankan gelar juara tersebut setidaknya. Kita seolah diingatkan lagi oleh pesan Rasulullah melalui kisah di Badar tersebut. “Kita telah kembali dari pertempuran kecil untuk mengikuti pertempuran yang lebih besar lagi”.
Tidak berlebihan, apabila “juara” itu dapat kita maknai sebagai sebuah alternatif kecil saja yang ditawarkan kehidupan, Apapun bentuk kompetisinya, karena kompetisi itu ibarat dua sisi mata uang, pemenang atau pecundang, dan para Kafilah Kecamatan Canduang telah memilih yang pertama; sebuah pilihan cukup berarti apabila diimbangi dengan kesanggupan untuk terus berbenah disamping untuk terus mempertahankan prestasi yang telah diraih tentunya.
Di sela-sela acara refleksi 1 tahun CMC, 29 November silam, Camat Canduang mengatakan, “Kafilah Kecamatan Canduang Juara sebelum Juara”. Pernyataan ini sangat menarik untuk dicermati. Saya percaya pernyataan ini sengaja dikeluarkan Camat bukan untuk “menggadang-gadang”. Ada beberapa faktor penting yang mendasari pernyataan ini sejauh yang saya amati.
Pertama, ditemukannya sebuah spirit yang cukup menjajikan sebagai prasyarat juara, yaitu rasa kebersamaan yang terjalin cukup hangat antara para peserta dengan ofisial, maupun dengan para pengunjung yang setiap hari selalu ramai mengunjungi pemondokan Kafilah Kec. Canduang yang terletak di jorong Galuang Nagari Sungai Pua.
Kedua, masing-masing peserta yang mewakili Kec. Canduang tidak ditargetkan untuk meraih juara apapun, seperti yang ditekankan oleh Camat di banyak kesempatan. Hal ini berdampak pada kepercayaan diri peserta untuk tampil maksimal dan dengan sepenuh hati.
Derlina, salah seorang peserta cabang Tilawah tingkat Dewasa mengakui belum pernah ia menemukan keakraban cukup hangat sebagaimana di pemondokan kafilah Canduang , selama ia menjadi kandidat perlombaan yang sama di tempat lain.
Pertempuran Badar, sebagaimana MTQ ke-34 Kab. Agam di Kec. Sungai Pua, selalu menyisakan Pekerjaan Rumah yang panjang dan berliku untuk dilalui. Ada refleksi yang dalam pasca peperangan itu, yaitu renungan dan persiapan untuk peperangan sebenarnya.
Pertanyaan yang tinggal adalah seberapa mampu para sahabat menuai hikmah setelah peperangan tersebut, dan mereka telah menjawabnya dalam perjuangan-perjuangan hidup mereka setelah itu untuk mewujudkan masyarakat madani sebagaimana yang dicita-citakan Rasulullah.
Lalu, seberapa mampu semua pihak terkait dalam memaknai “juara” dari MTQ yang telah diraih itu? “Memaknai” yang dimaksud adalah adanya ikhtiar terus menerus dari semua pihak terkait untuk menjadikan “alternatif kecil” ini menjadi stimulus yang sehat untuk memberdayakan potensi anak-anak nagari yang terdapat di Kecamatan Canduang, tidak hanya untuk tampil sebagai jawara pada suatu perlombaan saja, lebih dari itu, untuk menjadi “juara” sejati dalam setiap lini kehidupan, karena Kecamatan yang masih sangat muda ini butuh lebih banyak “prestasi” lagi untuk bisa membuktikan perwujudan tatanan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan bermartabat di masa yang akan datang. Siapa yang mampu menjawabnya selain kita?. | CMC-007 Akhyar Fuadi
-----------------------------------------------------------*****
'Monisfar Kayo' mantap dinda tulisannyo, simple, sederhana, mudah dimengerti dan mengkritik sehat dalam menjawab segala tantangan untuk menuju lebih sukses lagi pada masa mendatang.....bravo dinda....
Selasa pukul 18:54 ·
Zul Kifli dengan sebuah kearifan kita lihat, ternyata sebuah kompetisi tidak terselesaikan oleh pemaksaan kehendak kepada peserta dan offecial untuk menjadi sang juara, tapi sangat arif ketika persoalan kompetisi dianalogikan kepada peperangan yang dilaksanakan oleh jenderal oemar mukhtar, dia berkata ketika tertangkap dan ditawan "urusan kami hanya berperang, persoalan menang ataupun kalah bukan persoalan yang harus kami pikirkan"
Selasa pukul 20:36 ·
Restoe Akhyar Pada hemat saya, berfikir tentang kemenangan adalah manusiawi, lumrah, katakanlah semacam spirit sederhana. Hanya saja ketika fikiran itu merepresentasikan tendensi dan ambisi, ceritanya akan menjadi lain. Ada yg terluka disana. Parahnya yg terlukai paling fatal adalah spirit, ruh dari kompetisi. Saat itu terjadi, berarti kita telah kalah!
====================
Mohon komentar dan masukan...............!!!
Share postingan ini di facebook dan twiter anda. Click logo
Posting Komentar