Tragedi Gantung Diri Bukittinggi dan Beberapa Jalan Keluarnya
Tragedi Gantung Diri Bukittinggi dan Beberapa Jalan Keluarnya
Bukittinggi - Sebagaimana dilansir dari bukittinggiku dan nuansanews.com, seorang pemuda Bukittinggi nekat mengakhiri hidupnya dengan seutas tali (bunuh diri), Senin, 3 Juli 2023.
Kejadian yang mengerikan tersebut terjadi di Kelurahan Tarok Dipo, Kecamatan Guguak Panjang, Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat.
Saat dikonfirmasi, Fetrizal, S.I.K, M, Kasat Rekrim Polresta Bukittinggi, membenarkan terjadinya kasus ini.
“Benar, terjadi sekitar jam 1 pagi. Motif korban melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri belum bisa ditentukan atau dalam lidik”, ungkap Kasat Reskrim (4/7/23).
Ditempat berbeda Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H., menyatakan beberapa daerah di Sumatera Barat membutuhkan peraturan daerah tentang penanggulangan bunuh diri.
“Agar kinerja upaya preventif penanggulangan bunuh diri di Bukittinggi terarah dan ada dasar hukumnya perlu adanya peraturan daerah penanggulangan bunuh diri. Ini bertujuan agar pemerintah terhindar dari mal administrasi yang berakibat bisa terjebak perilaku penanggulangan bunuh diri yang koruptif dan tak efektif,” ujarnya di Bukittinggi, Selasa, (4/7/2023).
“Dalam aturan daerah ini nanti akan jelas peran kecamatan dan kelurahan dalam penanggulangan bunuh diri, jelas juga cara pencegahan bunuh dirinya, bagaimana anggaran kebijakan, strategi dan program penanggulangan bunuh diri di Bukittinggi akan jelas. Sehingga jelas juga pertanggungjawabannya,” tambah Riyan yang merupakan Ketua Bidang Hukum dibeberapa organisasi di Sumatera Barat ini.
Pembentukan peraturan daerah ini merupakan wujud kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kondisi khusus itu saat ini adalah maraknya kasus bunuh diri ini.
“Terkait pentingnya peraturan daerah untuk penanggulangan bunuh diri ini merupakan amanat dari UUD Pasal 28 H ayat 1 dan UU Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang memang butuh aturan turunan sebagai pelaksanaa di daerah,” katanya.
Karna pemerintah daerah perlu memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi orang dengan risiko bunuh diri, penyintas bunuh diri, dan orang yang terdampak peristiwa bunuh diri berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, ujarnya.
Dan juga karna setiap warga memiliki hak hidup dan berhak mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan jasmani, kejiwaan, kerohanian, dan sosial yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa, karena pada diri setiap orang melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya untuk mewujudkan Sumatera Barat yang makmur dan sejahtera, tambahnya.
“Jadi, peraturan daerah bisa menjadi salah satu alat dalam melakukan transformasi sosial dalam menanggulangi bunuh diri. Sekaligus peraturan daerah ini juga bertujuan mewujudkan masyarakat daerah yang mampu menjawab perubahan yang cepat dan tantangan pada era milenial 4.0 dan society 5.0 ini. Pada akhirnya dengan adanya aturan akan mewujudkan terciptanya good local governance dalam penanggulangan bunuh diri di Sumatera Barat,” sambung Riyan.
Apalagi datanya, ungkap Riyan kepada media ini, yaitu ada 800 ribu jiwa meninggal dunia akibat bunuh diri, per tahun. Artinya, tindakan bunuh diri telah merenggut 1 korban jiwa setiap 40 detik. Di Indonesia hingga tahun 2012, diketahui ada 9.106 orang di Indonesia yang meninggal dunia akibat bunuh diri. Sebelumnya, pada periode 1990-2016, jumlahnya sebanyak 8.580 jiwa, tegasnya.
Jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia, diprediksi merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Menurut data WHO, per Juli 2019, dari ratusan juta penduduk di Indonesia, satu orang meninggal dunia akibat bunuh diri per 1 jam. Laporan WHO menjelaskan pemicu bunuh diri salah satunya yakni gangguan mental seperti depresi dan konsumsi alkohol berlebihan. Pemicu lainnya yakni masalah ekonomi, masalah pribadi seperti percintaan, trauma, dan penyakit yang diderita, jelas alumni Universitas Indonesia ini.
"Menurut Health Metrics and Evaluation (IHME), faktor yang menyumbang besarnya jumlah angka bunuh diri di Indonesia adalah depresi," terangnya.
Riyan juga menjelaskan, di Indonesia, saat ini diperkirakan terdapat sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami depresi. Gangguan mental kerap terjadi menimpa siapa saja, ganguan mental jangan dianggap sepele bisa jadi membahayakan jiwa. Pada umumnya yang sering terjadi adalah stres jika tidak ditangani dengan tepat bahkan bisa berlanjut dengan depresi.
Selain itu, perhatian kepada mereka yang mengalami masalah dalam psikologis atau pun kesehatan mental yang berujung kepada bunuh diri ini juga merupakan amanat dari Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Kesehatan: “Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.”
Diperkuat juga dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Dari ketentuan hukum di atas, Riyan menyimpulkan bahwa orang yang memiliki gangguan mental/kejiwaan dilindungi oleh undang-undang untuk memperoleh perawatan dan kehidupan layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
Riyan berharap, kasus bunuh diri Bukittinggi khususnya dan Sumatera Barat pada umumnya tak terulang lagi dan dapat diminimalisir oleh pemerintah bersama-sama dengan elemen sukarelawan yang terdiri dari masyarakat yang peduli dengan kesehatan mental.
Didukung juga dengan pencegahan bunuh diri dengan pemerintah daerah melalui peraturan daerah menyusun strategi untuk mencegah peningkatan upaya bunuh diri melalui program pendidikan, sekolah atau institusi pendidikan untuk memasukkan materi terkait gangguan mental, depresi, dan bunuh diri, mengenalkan konsumsi alkohol yang tidak berlebihan, identifikasi dini untuk penderita depresi, gangguan mental, gangguan kepribadian, penyakit akut, dan stres.
Para penderita kesehatan mental perlu mendapatkan penanganan, baik dari psikolog atau psikiater. Mereka juga perlu mendapatkan pelatihan bagaimana mengelola emosi dan bagaimana mencegah perilaku yang mengarah ke bunuh diri.
"Terakhir, penting bagi orang-orang sekitar untuk terus mengajak berkomunikasi para penderita gangguan mental yang pernah mencoba bunuh diri. Sesekali bertanya kabar menjadi langkah sederhana yang penting dilakukan," tutupnya.(Jumarni/Rika)
Posting Komentar